Complete Fair Grading*


Pendahuluan

Untuk dapat menentukan seorang mahasiswa lulus, dosen biasanya menentukan nilai ambang tertentu, misal 80. Jadi misalnya, jika dalam ujian pilihan ganda terdapat 100 soal, siswa dapat lulus jika menjawab benar 80 soal dengan asumsi jawaban salah tidak dihitung minus.

Tulisan ini akan mengajukan suatu pendapat yang mengatakan bahwa pemberian ambang batas yang tetap tidaklah adil untuk mahasiswa. Hal ini disebabkan pemberian ambang batas seperti itu menafikan faktor yang dipengaruhi oleh kompetensi dosen dalam penguasaan dan penyampaian materi di kelas.

Tulisan ini akan dimulai dengan sedikit membahas esensi dari kegiatan belajar mengajar di dalam kelas di sebuah perguruan tinggi. Berbeda dengan tren yang muncul sekarang, yang memiliki kecenderungan untuk menilai kegiatan belajar mengajar di kelas seharusnya sebagai kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa, saya akan kembali ke sudut pandang lama, yang menyatakan bahwa kegiatan belajar mengajar di kelas di perguruan tinggi adalah sebuah kegiatan transfer pengetahuan.

Di bagian selanjutnya, saya akan membahas mengenai konsekuensi sudut pandang kegiatan belajar mengajar sebagai transfer pengetahuan terhadap penilaian siswa. Di bagian ini saya juga akan mendaftarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kelulusan siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Di sini saya akan menguraikan alasan cara penilaian yang ada sekarang tidaklah adil (fair) terhadap mahasiswa.

Di bagian terakhir, saya akan menguraikan usulan mengenai cara penilaiai yang lebih adil untuk mahasiswa dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kelulusan mahasiswa dalam satu matakuliah.

Transfer Pengetahuan

Tujuan pendidikan tentu saja adalah untuk mengembangkan potensi dari peserta didik. Hal ini sangat disadari oleh para pendidik. Akan tetapi, bagaimana caranya? Tidak banyak yang tahu.

Di Sekolah Dasar hingga Menengah Atas, prinsip pengembangan potensi ini sangat bagus diterapkan. Di sini, tidak seharusnya siswa dibebani dengan materi pembelajaran yang terlalu banyak. Yang paling penting adalah pengembangan pola pikir dan karakter mereka. Inilah yang akan menjadi bekal mereka untuk bersaing di lapangan sesungguhnya.

Di perguruan tinggi, adalah salah kaprah jika kurikulum masih mengacu kepada pengembangan potensi siswa. Minat seharusnya sudah terpilah di tahap seleksi perguruan tinggi sehingga setiap siswa yang masuk perguruan tinggi seharusnya sudah berada di lapangannya masing-masing. Jika sudah ada di lapangannya masing-masing, tugas perguruan tinggi adalah mentransfer ilmu dan keterampilan sebanyak-banyaknya sehingga mereka menjadi cakap untuk hidup di lapangan yang sesungguhnya.

Apakah ini berarti pembentukan karakter mereka diabaikan? Tentu saja tidak. Pembentukan karakter adalah bagian dari interaksi antarmanusia. Pembentukan karakter dapat dilakukan dalam kehidupan sosial mahasiswa. Pembentukan karakter dapat dilakukan dalam kegiatan ekstrakurikuler, atau unit kegiatan mahasiswa. Pembentukan karakter, pembelajaran etika dan moral dapat disisipkan dalam aturan-aturan yang berlaku di perguruan tinggi tersbut.

Akan tetapi di kurikulum? Bukan tugas kurikulum di perguruan tinggi untuk membangun karakter mahasiswa, apalagi membentuk karakter. Karakter siswa haruslah sudah terbentuk yaitu di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah. Apalagi, apakah kita yakin, apakah dengan akal sehat kita sejujurnya sependapat, bahwa nilai-nilai dapat diterapkan melalui kegiatan belajar mengajar di dalam kelas?

Penilaian Mahasiswa

Dengan dikembalikannya sifat kegiatan belajar mengajar di kelas sebagai suatu kegiatan yang tujuannya adalah transfer ilmu, evaluasi terhadap keberhasilan transfer ilmu ini dapat dilakukan dengan cara ujian, baik tertulis maupun lisan atau praktik.

Seorang mahasiswa dikatakan lulus atau berhasil dalam proses transfer ilmu ini jika dia telah berhasil menyerap materi yang diajarkan di kelas. Pertanyaannya adalah, berapa banyak materi?

Seperti yang sudah disinggung di bagian Pendahuluan, dosen biasanya menentukan angka tertentu dalam ujian. Angka tersebut harus dilewati (atau minimal disamai) jika mahasiswa ingin lulus ujian. Pertanyaan berapa angka tersebut seharusnya, tidak pernah muncul menjadi bahan kajian dosen. Kalaupun sempat disinggung di rapat koordinasi, pembahasan hanya seperti menentukan angka tersebut berdasarkan perasaan masing-masing dosen. Angka muncul jadinya merupakan kesepakatan dosen tanpa penjelasan yang jelas dan valid mengenai alasan dipilihnya angka tersebut. Paling bagus angka itu didasarkan pada pengalaman dosen di tahun-tahun sebelumnya. Jika tahun sebelumnya dosen-dosen mendapatkan bahwa angka 80 terlalu tinggi, hasil rapat koordinasi hampir dapat dipastikan akan mengeluarkan nilai yang di bawah angka 80 tersebut. Lalu, bagaimana sebenarnya menentukan angka yang tepat sehingga angka yang menjadi penting ini, karena menentukan nasib mahasiswa, dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah?

Hal pertama yang dapat kita lakukan adalah mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian nilai seorang mahasiswa. Faktor-faktor ini dapat berjumlah tak berhingga karena satu faktor akan dipengaruhi oleh banyak faktor yang lain sehingga sebenarnya semua faktor saling kait-mengait. Di daftar berikut ini, penulis berusaha untuk menuliskan faktor yang penting saja. Bukan tidak mungkin ada faktor yang terlewatkan oleh penulis.

  1. Tingkat kepintaran mahasiswa
  2. Minat mahasiswa (yang menentukan tingkat kerajinan)
  3. Suasana Lingkungan kelas dan rumah
  4. Kondisi saat ujian
  5. Tingkat kesulitan soal ujian
  6. Kemampuan dosen (kompetensi dan cara penyampaian)

Dari sekian faktor tersebut, hanya nomor 1 dan nomor 5 saja yang kurang lebih menjadi pertimbangan dosen untuk menentukan ambang batas nilai kelulusan. Nomor 2 rasanya tidak lagi menjadi wewenang dosen di dalam kelas, nomor 2 seharusnya menjadi kepedulian pihak institusi secara keseluruhan untuk menentukan bahwa mahasiswa yang diterima adalah mahasiswa yang memang tertarik dengan program studi yang diajarkan.

Nomor 3 dan 4 sifatnya sangat kondisinal, dan meski dapat berpengaruh terhadap hasil ujian seseorang, dosen dan institusi tidak terlalu dapat mengendalikan faktor ini. Yang paling menarik adalah nomor 6. Faktor inilah yang sebenarnya dilupakan. Padahal, faktor ini sangat dominan berperan untuk menentukan kelulusan seorang mahasiswa. Inilah mengapa saya mengatakan bahwa cara-cara lama untuk menentukan ambang batas kelulusan tidaklah adil untuk mahasiswa.

Complete Fair Grading

Kurikulum, dan turunannya, menentukan materi yang harus disampaikan di kelas. Mari kita kuantifikasi jumlah materi ini dengan angka 100%. Asumsikan bahwa seorang dosen telah menyampaikan materi tersebut seluruhnya. Dengan kata lain, dosen tersebut sudah menyampaikan materi 100%. Oleh karena kemampuan mahasiswa tidak sama, jumlah materi yang dapat diserap oleh mahasiswa tidaklah sama. Jumlah materi itu dapat berkisar antara 0%-100%.

Selain ditentukan oleh kemampuan mahasiswa, kemampuan dosen juga mempengaruhi jumlah materi yang dapat diserap oleh mahasiswa. Di gambar-gambar berikut ditunjukkan keadaan yang dapat terjadi dalam transfer pengetahuan ini.

gambar_1

Gambar 1: Model transfer pengetahuan ideal dari dosen ke mahasiswa

Di Gambar 1 ditunjukkan keadaan ideal. Dalam kasus ideal ini, seluruh materi (lingkaran paling kiri) dimengerti sepenuhnya oleh dosen (lingkaran tengah). Oleh karena kompetensi dan kemampuan menyampaikan yang baik, dosen dapat mentransfer dengan baik semua dari materi yang diajarkan (ditunjukkan dengan label pada garis antara Dosen dan Mahasiswa). Dengan tingkat kemampuan penyerapan mahasiswa yang tinggi, semua yang disampaikan oleh dosen pun dapat diterima (lingkaran paling kanan).

gambar_2

Gambar 2: Model transfer pengetahuan realistis dari dosen ke mahasiswa

Kejadian yang lebih realistis ditunjukkan Gambar 2. Di gambar ini, dosen bisa jadi tidak mengerti materi sepenuhnya, tapi hanya sebagian besar. Selain itu, dosen juga tidak sempurna dalam teknik penyampaian, terutama dalam materi yang rumit. Kemampuan mahasiswa juga tidak seluruhnya baik sehingga yang berhasil disampaikan dosen, tidak semua dapat diserap. Dengan demikian, hanya 70% materi yang dapat ditangkap oleh mahasiswa.

gambar_3

Gambar 3: Model transfer pengetahuan untuk dosen yang tidak kompeten

Meskipun kejadian di Gambar 2 adalah kejadian yang realistis, bukan tidak mungkin kejadian yang ditunjukkan di Gambar 3 juga terjadi. Di sini, dosen yang mengajar hanya menguasai setengah dari materi yang harus diajarkan.

Selain itu, kemampuan penyampaiannya yang kurang menyebabkan mahasiswa hanya mendapatkan porsi kecil dari pengetahuan yang harusnya didapatkan.

gambar_4

Gambar 4: Model transfer pengetahuan untuk mahasiswa dengan kemampuan rendah

Di Gambar 4 ditunjukkan jika mahasiswa tidak memiliki minat atau kemampuan yang cukup untuk menangkap materi yang disampaikan oleh dosen. Meskipun dosen yang mengajar sudah cukup baik, namun pada akhirnya porsi pegetahuan yang didapatkan oleh mahasiswa tetaplah kecil.

Dari kejadian-kejadian yang telah digambarkan, dapat dilihat bahwa kuantitas pengetahuan yang dapat diserap oleh mahasiswa, bergantung pada seberapa besar pengetahuan yang dapat disampaikan dengan baik oleh dosen. Bagaimana cara mengukur ini?

Andaikanlah mahasiswa terpintar di kelas dapat menyerap 100% persen dari materi efektif yang disampaikan oleh dosen. Jika materi yang disampaikan itu efektif 80%, maka mahasiswa terpintar itu hanya akan memiliki 80% dari materi yang diwajibkan di kurikulum.

Jika kita ingin memberikan ambang nilai yang adil, nilai batas tidak boleh lebih dari nilai materi yang efektif diberikan dosen. Artinya, jika dosen menyampaikan 80% materi, tidak boleh kita memberikan ambang di angka 90. Lebih dari itu, tidak adil juga untuk tidak mempertimbangkan mahasiswa yang kemampuannya rata-rata. Untuk itu, ada baiknya jika ambang ditentukan dengan cara menentukan persentasi dari materi efektif yang disampaikan oleh dosen.

Contoh, jika materi efektif itu 80%, dosen dapat memberikan ambang angka 60 untuk kelulusan. Artinya, mahasiswa dianggap lulus jika dia dapat memahami 60/80 × 100% = 75% dari materi efektif yang disampaikan oleh dosen. Bagimana cara menghitung materi efektif yang disampaikan oleh dosen? Caranya adalah dengan melihat nilai tertinggi ujian. Nilai tertinggi ini dapat diasumsikan didapat oleh mahasiswa paling pintar yang dapat menyerap 100% dari semua materi efektif yang disampaikan oleh dosen.

∗Ingo Molnar menulis algoritma Complete Fair Scheduler (CFS) untuk penjadwalan proses di Linux 2.6. Judul ini mengambil insipirasi dari nama algoritma tersebut.


Leave a Reply